Jumat, 05 Desember 2008

Buletin OSIS "An-Nahl" Edisi 1; Tsunami; Kisah Dahsyat dari Serambi Mekah.


(Buletin An-Nahl: 1/VI/2008)
Masih ingat dengan tragedi tsunami yang terjadi di Serambi Mekkah atau yang lebih dikenal dengan sebutan Aceh?, tragedi yang mempunyai kenangan tersendiri bagi penduduk Aceh, bahkan penduduk dunia. Tragedi tersebut terjadi begitu dahsyatnya dan memakan ribuan bahkan jutaan korban hanya dalam hitungan menit. Sampai saat ini (± 3,5 thn) kerusakan- kerusakan yang terjadi masih tersisa walau sudah menelan trilyunan rupiah.
Aceh merupakan salah satu daerah khusus di Indonesia yang benar-benar menerapkan ajaran Islam. Walaupun demikian, banyak diantara mereka yang belum menghargai Islam tersebut, terlebih warga pendatang. Contohnya perayaan natal dan tahun baru yang sebelumnya tidak pernah diadakan di Aceh, namun ketika tanggal 25 Desember 2004 semua itu berubah.

Sepenggal kisah sehari sebelum Tsunami
Tanggal 25 Desember 2004, polisi pendatang yang bertugas di Syiah Kuala hendak menggelar perayaan Natal sekaligus menyambut perayaan tahun baru di pantai Syiah Kuala, Banda Aceh. Sebuah tenda besar didirikan di dekat lokasi makam ulama terkenal Aceh, Syiah Kuala. Kursi-kursi dijejerkan, sebuah organ tunggal lengkap dengan penyanyinya yang berpakaian seronok pun didatangkan. Beberapa perempuan nakal pun di boyong ke tempat itu.
Salah seorang warga yang selamat, Abdul Syukur (bukan nama sebenarnya) menuturkan bahwa para petugas kepolisian itu mabuk-mabukan dan berjoget. Suara hingar bingar ditingkahi suara tertawa genit perempuan nakal terdengar hingga ke rumah-rumah penduduk. Semua dilakukan tanpa mengindahkan kesakralan makam ulama besar Syiah Kuala.

Seorang guru ngaji (al-Walid) yang biasa bermalam di komplek makam merasa terketuk nuraninya untuk mengingatkan aparat kepolisian itu agar tidak melakukan kemaksiatan di dekat makam seorang ulama. Setelah mengucapkan Basmallah, orang tua berjubah putih itu menghampiri orang-orang yang tengah berpesta. Tutur katanya yang begitu sopan dan lembut tidak dihiraukan. Orang tua itu malah dihardik dengan kasar dan ditodong senjata api laras panjang.
Dengan hati hancur al-Walid berbalik menuju makam Syiah Kuala. Di depan makam, al-Walid berdoa sembari mengucurkan air mata. Hatinya hancur, ia tidak punya daya upaya dan kekuatan untuk menghentikan pesta maksiat itu. Dengan penuh perasaan, orang tua itu bahkan sempat mengumandangkan adzan tiga kali di depan makam. Suaranya kalah keras dengan dentuman musik dangdut yang mengi-ringi pesta maksiat itu.
Setelah adzan, orang tua itu pergi me-ninggalkan makam. Al-Walid terus berjalan menjauhi makam dan menghilang ditelan kegelapan malam. Pesta terus berlangsung tak kenal tempat dan waktu. Menurut beberapa warga sekitar makam, dalam pesta itu beberapa orang terlihat melepaskan pakaiannya. Adzan subuh yang menggema dari masjid al-Waqib tak mampu menghentikan pesta yang masih meriah. Saat matahari terbit di ufuk timur, pesta masih berlangsung.
Dahsyatnya 26 Desember

Tak lama kemudian tanah berguncang hebat dalam hitungan beberapa menit. Gempa besar telah terjadi, orang-orang yang berpesta keluar dari tenda. Ada yang menjerit, ada yang tertawa-tawa, adapula yang masih asyik berjoget sendiri. Para penduduk sekitar juga berhamburan keluar rumah memenuhi jalan.
Setelah gempa berhenti, tak lama kemudian laut menyurut sampai jauh. Pantai bertambah luas, ikan-ikan sebesar paha orang dewasa menggelepar di atas pasir. Orang-orang yang masih berpesta itu memandang pantai dengan raut muka kebingungan.
Keadaan itu juga tidak berlangsung lama. Tiba-tiba dari arah pantai, terlihat jauh di tengah laut muncul seperti tembok hitam se-tinggi -kurang lebih- tiga kali pohon kelapa. Berjalan sangat cepat ke arah daratan. Menyapu dan menggulung semua yang ada di hadapannya. Pesta maksiat itu pun terpaksa berhenti, lumat dalam jilatan tsunami. Jika Fir’aun sempat memohon ampun setelah digulung ombak walau tobatnya tak diterima Allah SWT, maka orang-orang ini tidak punya kesempatan sama sekali. Mereka mati dalam kesia-siaan, bahkan orang-orang kampung yang tak bersalah pun ikut pula terkena getahnya.
Setelah air reda, yang tampak sejauh pandangan mata hanya genangan air dan puing-puing rumah, batu, serta pepohonan yang menjadi satu dengan mayat-mayat yang bergelimpangan. Ratusan orang kehilangan tempat tinggal, ratusan istri menjadi janda, ratusan anak menjadi yatim piatu karenanya.
Ahmad (bukan nama sebenarnya) yang masih berumur 2 tahun, sebelum kejadian tersebut terbiasa dengan belaian ibunya setiap mau tidur, dan kecupan sang ayah ketika menggendongnya setiap sore, serta hangatnya berkumpul dengan keluarga setiap menjelang malam sambil nonton TV. Kini semua kenangan itu sirna ditelan ombak, dia berjalan tak tahu mau ke mana arah, setiap malam tidur berselimut awan, ketika siang menjelma arah matanya tertuju pada laut luas sambil meneteskan air mata dan hatinya menjerit, “dimana ayah, ibu, dan saudara-saudaraku wahai laut…?”.
Menurut cerita warga sekitar yang selamat, saat terjadi tsunami, dari tengah kuburan Syiah Kuala memancar air hitam yang sangat deras ke arah orang-orang yang tengah berpesta. “Jadi orang-orang itu tidak saja dilumat oleh laut, tapi juga dari air hitam yang keluar dari makam tersebut,” ujar seorang warga.
Wan Abdul Hakim, warga Malaysia yang bekerja di Konjen Kedutaan Malaysia di Medan, pada hari Sabtu (15/1) mengunjungi makam Syiah Kuala tersebut dan menemukan kebenaran kisah itu.
Bagi warga Aceh, tsunami merupakan peringatan agar tidak lagi mengulangi kemaksiatan dan menjauhi Islam. Allah SWT telah memperlihatkan kebesaran dan kekuasaan-Nya di Syiah Kuala, malam setelah perayaan natal yang rencananya dikemas dengan dengan perayaan tahun baru. (Ala)

Wallahu’alam
Tulisan ini banyak mengambil sumber dari buku “keajaiban Sekitar Tsunami” karya Rizki Ridyasmara.
(Sumber: Buletin OSIS "An-Nahl" Edisi 1/VI/2008)

Tidak ada komentar: